Widget HTML #1

Maksiat Membuat Lemas, Malas Ngapa-ngapain, dan Ibadah Jadi Berat

 Lemas setelah maksiat bukan kelemahan, tapi tanda hati masih hidup. Itu alarm dari Allah agar kita segera bertaubat, sebelum hati terbiasa dalam gelapnya dosa.

Ada rasa aneh yang sulit dijelaskan…
Setelah maksiat, tubuh seperti lemas tak bertulang. Sholat jadi terasa berat, ibadah kehilangan ruhnya, bahkan waktu seakan berlari tanpa makna. Hati dipenuhi penyesalan, bibir bergetar menyebut nama Allah, tapi dada sesak karena menanggung rasa bersalah.




Apakah semua orang merasakan hal seperti ini?

Bagi mereka yang menjaga sholat tepat waktu, apalagi di masjid, biasanya iya. Hati mereka terbiasa dengan cahaya ibadah. Begitu noda dosa masuk, ia seperti racun yang langsung ditolak tubuh. Lemas, malas, bahkan mengantuk—itu reaksi alami. Bukan sekadar psikologis, tapi pertanda iman masih berdenyut.

“Sesungguhnya seorang mukmin jika berbuat dosa, akan muncul titik hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, maka hatinya dibersihkan. Jika ia mengulangi, maka titik itu membesar hingga menutupi hatinya.”
(HR. Tirmidzi)

Namun, bagi mereka yang jarang sholat, jauh dari ibadah, atau sudah terbiasa dengan maksiat, rasa itu sering kali hilang. Dosa tidak lagi menimbulkan sesak. Aurat dilihat dengan ringan. Zina hati dianggap biasa. Bahkan kemalasan tidak lagi dianggap masalah. Inilah kondisi berbahaya: ketika hati mulai terbiasa hidup dalam kegelapan.

Bayangkan perbedaan ini:

  • Orang sehat minum racun → tubuh langsung pusing, muntah, menolak.

  • Orang yang terbiasa dengan racun → tubuhnya terlihat “tenang,” padahal racun itu perlahan membunuh dari dalam.

Maka lemasmu setelah maksiat itu sebenarnya anugerah. Itu tanda Allah masih menjagamu, dengan memberi alarm berupa rasa bersalah.

Ketika Dosa Membuat Tubuh Tak Bertulang

Seorang lelaki keluar dari masjid setelah sholat Isya. Hatinya ringan, wajahnya tenang, langkahnya mantap. Ia merasa seperti malaikat sedang berjalan di sisinya.

Namun hanya beberapa jam setelah itu, sendirian di kamar, godaan datang lewat layar kecil di genggamannya. Ia mencoba menahan, menutup, tapi jarinya lebih cepat dari lisannya yang mengucap istighfar. Hingga akhirnya ia terjatuh.

Begitu selesai, ia terdiam. Tangannya dingin, tubuhnya lunglai, matanya kosong. Seakan semua tenaga dihisap keluar. Ia rebah di kasur, tapi bukan untuk istirahat, melainkan karena hatinya dipenuhi rasa bersalah.

Di kepalanya terngiang-ngiang ayat yang dulu ia hafal: “Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” Ia merasa sholatnya gagal. Ia merasa hina. Ia merasa jatuh dari langit yang tinggi ke jurang yang gelap.

Namun perlahan ia sadar… Rasa lemas, malas, sesak ini adalah tanda Allah belum membiarkannya. Allah masih mengirimkan alarm lewat tubuhnya sendiri.

“Andai dosa itu terasa nikmat tanpa penyesalan, itulah tanda hati sudah mati.
Lebih baik aku sakit karena dosa, daripada tenang di dalam maksiat.
Selama aku masih menyesal, berarti Allah masih memanggilku untuk pulang.”

“Tubuhmu yang lemas setelah maksiat itu bukan kelemahan, tapi alarm dari Allah.
Itu tanda hatimu masih hidup, masih protes saat kau menodainya.
Takutlah kalau suatu hari engkau berbuat dosa,
tapi tetap segar bugar, tanpa rasa bersalah, tanpa penyesalan.
Karena saat itu, bukan dosamu yang ringan—tapi hatimu yang telah mati.”

Penyebab rasa lemas setelah maksiat

  • Cahaya ibadah tertutup kegelapan dosa.

  • Hati menolak perbuatan yang bertentangan dengan iman.

  • Syaitan mempermainkan penyesalan, membuat tubuh makin malas.

Solusi agar bangkit kembali

  • Jangan biarkan penyesalan berubah jadi keputusasaan—jadikan ia bahan bakar untuk taubat.

  • Kuatkan zikir dan doa, karena hati yang berkarat hanya bisa dipoles dengan mengingat Allah.

  • Sibukkan diri dengan amal kecil tapi konsisten: baca Qur’an, sholat sunnah, atau sekadar doa singkat setelah wudhu.

  • Ingat bahwa Allah tidak menilai seberapa sering kita jatuh, tapi seberapa cepat kita bangkit.

Kesimpulan

Jangan salah paham, lemas setelah maksiat bukan tanda engkau hancur, tapi tanda engkau masih dijaga. Allah ingin engkau segera kembali. Yang berbahaya justru ketika dosa terasa ringan dan hati tidak lagi menolak. Selama penyesalan masih ada, selama tubuhmu masih merasakan “racun dosa” itu, berarti Allah masih memanggilmu untuk pulang.